Monday, March 18, 2013

(Tak) Harus Membenci Televisi


Mulai September 2012, aku diajak LeSPI (Lembaga Studi Pers dan Informasi) menjadi fasilitator literasi media lewat blog. Secara gampangnya, literasi media adalah sebuah gerakan untuk membuat masyarakat melek terhadap isi media. Bisa membedakan mana yang bagus dan mana yang tidak, sehingga bisa memilih untuk mengambil yang bagus dan meninggalkan yang tak bermanfaat dari apapun yang dihadirkan media, tidak asal nonton, baca, atau dengar.


Bareng dua fasilitator lain, Budi Maryono dan Aulia A Muhammad, tugasku adalah menulis secara berkala amatan tayangan-tayangan di berbagai kanal TV nasional di blog Matatanda (http://matatanda.wordpress.com). Hasil amatan itu dihadirkan mirip kritik film (atau buku dan album musik), yaitu mengupas sisi negatif dan positifnya secara objektif namun dengan bahasa yang cair dan tidak rumit-intelektualistik.

Dalam rangka Jambore Literasi Media yang digelar di Hotel Quest, Semarang, hari Sabtu 15 Desember 2012 lalu, tulisan-tulisan terpilih di blog tersebut dikumpulkan menjadi buku mungil berjudul (Tak) Harus Membenci Televisi. Selain tiga fasilitator, penulis lain yang menyumbangkan tulisan adalah para pegiat literasi media lain bareng LeSPI, yaitu Catastrova Prima, Sri Humaini AS, Latree Manohara, dan Yuktiasih Proborini.

Turut menulis adalah Direktur LeSPI Djurianto Prabowo yang menulis bagian pengantar dan praktisi literasi media Liliek B Wiratmo yang memaparkan pernak-pernik kegiatan literasi media LeSPI ke berbagai komunitas masyarakat umum di seputar Semarang periode September-November 2012.

Beberapa artikel keren bisa dibaca di buku ini. Salah satunya degradasi makna frase “super sekali!”, “luar biasa!” dan kata “amazing!” dari amatan Aulia terhadap Mario Teguh Golden Ways (Metro TV), Hitam Putih (Trans 7), dan Bukan Empat Mata (Trans 7). Ada pula tulisan Budi soal tayangan Sugeng Sarjadi Forum di TVRI yang tidak “gaduh” sebagaimana tayangan-tayangan talk show politik di beberapa stasiun TV lain.

Aku sendiri lebih suka memfokuskan diri ke sinetron dan FTV, karena sejak dulu, dua jenis tayangan hiburan inilah yang paling membuatku senewen. Dua tulisanku tentang sinetron dan FTV yang ikut dimasukkan dalam buku ini adalah tentang serial Putri Bidadari (RCTI) dan film Misteri Arwah Kali Angke (Trans TV).

Hingga buku ini diluncurkan, aku tetap saja belum sekelas Garin atau Arswendo. Namun sekarang aku terpaksa harus bicara kembali soal televisi dalam kapasitasku sebagai fasilitator di LeSPI. Selain itu, bicara tak harus berarti—apa yang disebut—menjelekkan, karena jika kebetulan bertemu dengan yang bagus, aku tak akan segan untuk mengungkap dengan segera.

Salah satu contoh adalah artikel berjudul Keberhasilan Formula Srimulat tentang serial Untung Ada Sule (Global TV) yang juga ikut nongol di (Tak) Harus Membenci Televisi. Dan di tulisan-tulisan anyar di blog Matatanda, aku menyoroti sisi-sisi positif beberapa tayangan di kanal-kanal TV satelit (Indovision) yang, sayangnya, adalah buatan luar negeri.

Intinya adalah penyadaran, bahwa urusan TV tak semata barang produk pabrik yang kita tinggal pakai habis perkara, macam shampo, sabun, atau mi instan. TV berkaitan dengan hajat hidup karena, sebagaimana yang aku baru tahu setelah ikut terlibat dalam kegiatan literasi media, yang namanya frekuensi ternyata masuk dalam sumber daya alam milik kita semua masyarakat umum.

Kita berhak protes jika air leding kotor dan berbau, jika listrik byar-pet lebih sering pet, atau jika udara tidak sehat karena tercemar limbah kimiawi. Maka kita harus protes juga kalau si frekuensi itu dipakai untuk menyiarkan hal-hal yang tidak mendidik plus mengajarkan hal-hal jelek (kekerasan, konflik, tips memfitnah, tips menyingkirkan orang demi memburu harta, etc.!) karena frekuensi adalah milik kita bersama, yang diatur di pasal 33 UUD ’45.

Itulah yang ingin dicapai gerakan literasi media, bahwa masyarakat berhak bersuara atas tayangan TV, sebab frekuensi itu semata hanya dipinjamkan pemerintah kepada industrialis TV (atau radio). Ada masa berlakunya, mirip SIM, yang bisa diperpanjang bisa juga enggak tergantung hasil evaluasi.

Tentu saja bersuara tak selalu identik dengan kritik. Yang bagus harus di-endorse dan diwartakan seluas mungkin agar ditonton, seperti talk show SSF di TVRI itu tadi. Masalahnya, pihak stasiun TV dan para suporternya belum apa-apa kerap parno duluan terhadap kritik. Bukannya menyimak dan ikut menganalisa lalu mempelajari (kayak aku kalo giliran novel-novel teenlit & metropopku dikritik pembaca), tapi malah sibuk marah dan mengatakan sesuatu yang intinya adalah “Emang lo siapa!?”.

LeSPI dan terutama lewat blog Matatanda sendiri lebih mengarahkan gerakan melek medianya kepada kalangan masyarakat yang lebih umum, terutama ibu-ibu rumah tangga yang berkaitan langsung dengan anak-anak dan TV sehari-hari. Maka kami jelas menghindari pendekatan yang terlalu tinggi dan intelektual dalam segala kesempatan (termasuk kalau pas rapat yang malah lebih sibuk menganalisis kerdusan makan siang!).

Tidak ada istilah-istilah keren seperti “simulakra”, “singular”, “sentrifugal”, atau “cakrabyuha”. Tidak ada kutipan teori-teori kuliah dari para pakar seperti Harold Laswell, Emil Durkheim, Stephen Hawking, Tera Patrick, atau Petr Cech (paling banter Machiavelli!). Dan tidak boleh terlalu serius apa-apa serba nggak boleh, karena yang diajak berkomunikasi kan warga awam umum dan bukannya panel dosen penguji untuk ujian thesis doktoral.

Khusus buatku, tahun ini adalah tahunnya nonfiksi. Dari enam buku yang nongol sepanjang 2012, hanya dua yang berupa fiksi, yaitu Kumcer Teenlit Bukan Cupid dan Pocong Nonton Tivi: Dongeng Literasi Media. Empat lainnya nonfiksi: Saranghae Yo: Super Junior & SNSD, Katy Perry: The Firework, Ndongeng Enteng Sreng/Dongeng Karya Sendiri, dan (Tak) Harus Membenci Televisi ini.

No comments: