Monday, March 18, 2013

Sarang Hae Yo: Super Junior & SNSD



Siang itu aku sedang ngegame nggak jelas di kamar kosku di Gondang Timur IV, Tembalang, Semarang. Mendadak muncul sebuah panggilan telepon dari Mbak Retno Kristy, editor kenalanku di Elex Media Komputindo. Mbak Retno menawariku pekerjaan yang tak biasa: menulis buku tentang artis Korea, yaitu Super Junior dan Girls’ Generation alias SNSD. Dua boy/girlband itu dijadikan satu dalam sebuah buku profil setebal kira-kira 120 halaman.

Aku jelas kaget. Pertama, aku hampir bisa disebut buta soal K-pop. Nama-nama itu aku pernah dengar sekilas tapi nggak tahu sama sekali. Lebih parah lagi, aku nggak begitu apresiatif terhadap gelombang budaya pop dari negerinya Park Ji-sung ini, kecuali yang adult contemporary kayak soundtrack-soundtrack sinetron sejenisnya My Memory (by Ryu, dari serial Winter Sonata) atau One (Lee So-jung; serial Friends).


Dan yang paling menghebohkan, naskah dikasih deadline sangat sempit. Seingatku itu hari Jumat atau Sabtu, dan Mbak Retno bilang, naskah dan foto-fotonya ditunggu hari Senin. Berarti hanya ada waktu 2-3 hari buatku untuk mengerjakan sesuatu yang aku tak tahu. Mirip Ethan Hunt dari film Mission: Impossible yang dikasih tugas mencari makanan rondho royal padahal sama sekali gak tahu apa itu rondho royal! (Lagian ngapain juga agen rahasia disuruh nyari rondho royal!?)

Meski begitu aku terima saja penugasan itu. Duitnya pasti lumayan, batinku. Selain itu, mengerjakan sesuatu yang kita belum tahu pasti akan memaksa kita mempelajari hal baru dan mengetahui hal-hal baru yang mencengangkan pula. Aku emang nggak terlalu suka K-pop, tapi mau-mau saja mengetahui lebih banyak. Siapa tahu ada yang bisa disadap untuk kepentingan pribadiku, heheh...!

Setelah galau sehari karena nggak tahu mesti mulai dari mana, naskah mulai kukerjakan hari Minggu pagi pukul 9 setelah mandi. Sebelumnya, aku mengumpulkan info tentang Suju dan SNSD dari Wikipedia. Dan berdasar contoh naskah lain yang dikirim Mbak Retno, buku yang kugarap ini nanti lebih banyak didominasi foto-foto. Tiap halaman hanya berisi maksimal 2 paragraf teks, dengan 2-3 foto. Kupikir tak terlalu sulit. Bisa diatasi dalam dua hari.

Namun nulis 1-2 alinea untuk 120-an halaman ternyata nggak bisa sebentar. Minggu sore pukul 15 aku tidur dulu, dan baru kulanjutin pukul 18. Total seluruh naskah selesai kugarap menjelang tengah malam. Besoknya tinggal ngumpulin foto-foto. Ambil di warnet, lalu langsung kirim. Beres.

Besoknya, Senin pukul 9 pagi aku sudah nongkrong di warnet untuk mengunduh foto-foto. Untuk 120 halaman, berarti kira-kira ada 300-an foto. Dua jam kelar, tapi tantangan terbesar baru muncul sesudah itu, yakni ngirimnya. Pake CD trus dikirim lewat ekspedisi akan makan waktu. Sedang lewat email juga unimaginable. Terlebih karena foto-foto itu harus dipaskan dengan halamannya masing-masing. Tak bisa asal kirim dengan digabung begitu saja. Nanti Mas Layout-nya di Palmerah lantai II sana pasti njungkel karna bingung.

Akhirnya aku kembali ke kos Gondang dan memakai komputer Sam sang manajer kos untuk mengirimkan keenamratus foto itu. File naskah kukirim duluan. No problem. Setengah menit juga kelar. Yang memusingkan adalah foto-fotonya, yang harus kukirim dalam 120 (ya, seratus dua puluh!) email berbeda menurut urutan halamannya. Jadi ada email berjudul “halaman 1”, “halaman 2”, “halaman 3”, dan seterusnya sampai “halaman 120”.

Pas memulainya, aku merasa seperti Cornelis de Houtman yang mulai berlayar dari Amsterdam tanggal 2 April 1595 untuk mencari kepulauan rempah di Timur Jauh dan baru tiba di tujuannya, yaitu Bantam (Banten), setahun sesudahnya, pada tanggal 27 Juni 1596. Rasanya tengah menjalani pelayaran yang panjaaaang dan lamaaaa. Apalagi ketika pas sampai tengah-tengah pada sekitar halaman 50-60. Boring buanget!

Praktis untuk proses kirim email berisi foto-foto saja butuh waktu nyaris enam jam. Dimulai pas pukul 12 siang, email terakhir terkirim pada sekitar pukul 17.30. Dan aku langsung bersorak seolah-olah sudah menerima DP royaltinya. Habis itu aku mandi, dan setelah mandi aku nonton TV sambil ngegame dan fesbukan sampai tiba waktunya untuk turun ke downtown dan siaran di radio IBC FM yomestiii...!

Setelah menunggu sebulan, bukunya pun edar mulai tanggal 13 Juni lalu, bersanding dengan buku-buku profil bintang K-pop lain yang sudah lebih dulu ada. Judulnya Sarang Hae Yo (artinya “I love you” tapi untuk suasana formal—kalau untuk yang informal cukup “sarang hae” tok). Dan agar meyakinkan seolah ditulis warga Korea sungguhan, nama WW diganti dengan Hangguk Nim, yang artinya mengangguk-angguk setelah dapat NIM. Ini buku termahalku. Dijual dengan harga resmi Rp 60 ribu. Mengalahkan Grasshopper yang berbandrol Rp 49.800.

Buatku, buku SHY adalah penegasan bahwa ketidaksukaan harusnya tak menghalangi manusia untuk berbuat sesuatu. Sering kita sudah langsung menolak duluan sesuatu yang mendatangi kita hanya karena tak suka atau tak berminat. Diajak nonton jazz tapi tak mau karena ngefans metal. Di-add seseorang di FB tapi di-reject karena tak merasa ada rasa suka pada yang bersangkutan.

Padahal siapa yang tahu rencana Tuhan? Siapa yang tahu bahwa di konser jazz itu kita ketemu si dia yang sudah ditakdirkan untuk jadi jodoh kita? Siapa yang tahu bahwa orang jelek yang nge-add itu ternyata punya koneksi ke Universal Studios dan kelak menawari job untuk jadi pemain film? Penolakan di titik awal akan menutup pintu peluang yang sebenarnya sudah disajikan gratis tis buat kita. Maka aku menerima order kerjaan ini—sekalipun nggak ngefans K-pop—karena misteri “siapa tahu...?” itu tadi.

Dan memang aku jadi tahu lebih banyak. Tahu tentang produser jenius bernama Lee So-man itu, yang menjadi kreator Suju, SNSD, TVXQ, 2ne1, dan artis-artis top lain. Bagaimanapun dia memang jenius. Seorang maesenas sejati. Dan Indonesia nggak punya tokoh musik sehebat ini. That’s why sekarang kita sibuk meng-copycat K-pop menjadi apa yang disebut I-pop (padahal I-pop sebenernya kan cuman “K-pop cabang Indonesia”!) dalam bentuk Sm*sh, 7 Icons, Cherrybelle, dan kawan-kawannya itu.

Lucunya, aku baru tahu SHY edar ketika melakukan ritual Nyari-Nama-Sendiri-di-Komputer-Informasi, yang selalu kulakukan tiap mengunjungi toko buku, saat jalan-jalan bareng Gotri ke TB Gramedia di Pondok Indah Mall, Jakarta, dalam rangka melihat buku Pak Bei Sok Tahu yang baru saja beredar. Aku kaget waktu melihat bahwa di daftar buku-bukuku ada yang berjudul “Sarang Hae Yo”. Begitu kulihat di rak buku-buku Korea, aku ketawa sendiri melihat nama Hangguk Nim itu.

Setelah bikin buku bernuansa Korea, harusnya aku lantas terbang mengunjungi Seoul untuk nyari gemblong bakar dan beli snek rumput laut...

2 comments:

Binar Novicha said...

kalo 2ne1 itu YG Entertainment om wiwin, bukan Om Lee Soo-man, hehehe :D

wiwien wintarto said...

iya. aku juga baru dikasih tahu editornya pas mau mbikin buku 2ne1. ternyata manajemennya beda, hihi...