Monday, March 18, 2013

Pocong Nonton Tivi


Kadang-kadang, proses kreatif penyusunan sebuah buku terjadi dengan cara yang tak lazim dan nyaris tak terpikir sebelumnya. Itu yang kualami dalam penggarapan buku terbaruku ini, Pocong Nonton Tivi: Dongeng Literasi Media terbitan Yayasan TIFA dan LeSPI (Lembaga Studi Pers & Informasi).

Biasanya aku membikin buku dengan cara biasa-biasa saja. Atas kehendak sendiri dan kutulis semauku entah kapan jadinya yang penting jadi. Sekali ini, aku (ikutan) menulis karena diundang. Jadi ceritanya, LeSPI sedang membuat proyek kampanye literasi media (melek media—warga bisa membedakan mana isi yang jelek dan baik dari satu media). Nah, untuk anak-anak, kampanye dilakukan lewat dongeng.


Maka LeSPI yang didirekturi Pak Maksim D Prabowo mengundang 10 pengarang untuk ikut terlibat dalam gawe itu, yakni Doni Riadi, Ina Chan, Latree Manohara, Wesiati Setyaningsih, Catastrova Prima, Sigit Wiratmo, Ajang ZA, Sendang Mulyana, Widyo “Babahe” Leksono, dan aku sendiri. Kesepuluh penulis ini berasal dari berbagai kalangan yang merepresentasikan konstituen politik dan khalayak akar rumput berbeda-beda. Ada yang guru, dosen, seniman, penulis profesional, dan juga pengamat makhluk halus sepertiku.

Kami bersepuluh diundang mengikuti workshop dua hari yang digelar pada Jumat dan Sabtu tanggal 7-8 Oktober 2011 lalu. Workshop digeber di kantor LeSPI, Jl. Murbei I Timur No. 3, Perumahan Bina Marga, Srondol, Semarang. Hari pertama workshop diisi dengan pengenalan literasi media oleh Bu Liliek Budiastuti (dosenku dulu di STIK/STIKOM) dan trik menulis dongeng oleh sastrawan kawakan Budi Maryono alias Nora Umres alias Massakerah Tosin alias Bapake Tia.

Malamnya kami langsung dikasih tugas membuat dongeng yang langsung didiskusikan keesokan harinya. Meski sudah terbiasa dengan order kerjaan model kejar tayang begitu (soale pernah disuruh bikin artikel kuis remaja dan hanya dikasih waktu 10 menit!), aku agak kagok juga. Kan sudah jarang bikin dongeng. Apalagi petang sehabis workshop itu, aku masih menyempatkan diri nonton latihan vokal Ramada Voice di bilangan Ngesrep.

Karena galau dan nggak kunjung nemu ide yang oke, akhirnya aku nekat membikin sebuah cerita dongeng yang ngawur: fabel ketemu horor dalam nuansa komedik yang kental berjudul Pocong Nonton Tivi. Sebelum dini hari jamnya orang sahur, cerita sudah jadi. Aku pun bisa terlelap dengan tenang tanpa beban.

Lalu, pada hari kedua workshop, kesepuluh cerita didiskusikan bersama-sama. Tiap pengarang diminta membacakan karya masing-masing dan dikupas bareng-bareng di bawah petunjuk Bapak Pres, eh... Mas Budi Umres. Ternyata proses pembacaan dan pendiskusian seperti itu sangat menyenangkan dan bermanfaat. Testimoni maupun kritik dan masukan bisa saling terlontar bebas sehingga menjadi ajang transfer ilmu & teknologi yang konstruktif dan embrional!

Setelah menunggu selama beberapa bulan, akhirnya cerita-cerita dari workshop itu diterbitkan ke dalam sebuah buku koleksi cerita dengan kemasan yang menarik dan kover yang imut bergambar hantu-hantu dan hewan-hewan. Sebagai judul dipilih ceritaku, Pocong Nonton Tivi, dan peluncurannya dibarengkan dengan event ultah kedua Lini-Kreatif Writing di Terracotta Coffee House, Jl. Veteran 48, Semarang, hari Minggu 10 Juni lalu.

Secara umum, cerita-cerita di buku ini menggambarkan awareness kita terhadap potensi negatif media terutama televisi. Selama ini kita cenderung menelan bulat-bulat apapun yang tayang di TV—ndak mudeng mana yang bermanfaat sehingga layak disedot (emang lemak?) dan mana yang destruktif sehingga harus dihindari. Seringnya justru malah kita menyerap yang jelek-jelek seperti infotainment, tayangan bernuansa kekerasan, atau sinetron tak logis.

Dan bahwa kampanye ini ditujukan pada anak-anak memang beralasan. Yang namanya anak-anak sudah langsung tersedot perhatiannya bila TV sudah menyala. Tak jarang yang mengikat mereka justru hal-hal yang tak layak buat level usia mereka. Parahnya, kadang ortu (atau juga nanny) justru sering menggunakan TV sebagai secret weapon bila sudah judeg melihat kelakuan anak-anak yang kadang memang bisa menyebalkan. Daripada ribut nggak jelas dan mengganggu pekerjaan, hidupin TV dan mereka akan anteng!

Susahnya, solusi paten untuk ini juga belum ada. Pemerintah nggak mungkin membuat UU yang melarang anak-anak nonton TV pada jam belajar, atau mengancam hukuman berat bagi siapapun yang memproduksi tayangan TV tak bermutu karena ini pun bisa sangat subjektif. Di sisi lain, kampanye literasi media seperti yang dilakukan LeSPI juga hanya berupa imbauan, bukan paksaan. Pelaksanaannya di tingkat rumah bergantung dari political will masing-masing ortu yang pernah menerima kampanye—apalagi yang belum.

That’s why, ending dongengku juga kubuat menggantung. Bukan cliffhanger, tapi semata akhiran yang bukan berupa konklusi dan simpulan. Kancil dan warga hutan tahu pesawat TV bisa berdampak buruk bagi mereka, namun mereka juga tak tahu benda itu harus diapakan. Apakah tetap disimpan, dibuang, atau diserahkan pada makhluk lain.

Mengenai pemilihan tokoh pocong, selain karena ide nggambus, aku juga bermaksud mendekonstruksi pola pikiran kita mengenai sesuatu yang sudah memiliki label tertentu dalam pikiran bawah sadar kita secara kultural dan kolektif kolegial (hallaah... aku ngomong opo to?), dalam hal ini terhadap sosok pocong.

Banyak yang mempertanyakan, apakah sosok pocong layak dihadirkan sebagai sajian intelektual buat anak-anak. Justru pola pikir seperti itu pula yang ingin kubongkar. Memangnya kenapa dengan pocong? There’s nothing wrong with them. Sejak menelurkan novel Gombel, aku banyak mempelajari khasanah dunia perhantuan dari Kana Buchiko dan Lia Tiantia, sehingga aku sedikit lebih paham mengenai pocong.

Selama ini, imej pocong di mata kita menjadi sangat jelek dan kotor oleh berbagai cerita folklor yang kita dengar di masyarakat plus potret kumuh lewat media terutama film-film eksploitatif. Padahal pocong, kuntilanak, jin, roh halus, atau apapun hanya semata makhluk ciptaan Tuhan yang punya hak asasi sendiri-sendiri. Pada pandanganku, orang yang mengkorupsi pengadaan kitab suci jauh lebih kumuh daripada pocong. Jadi kenapa terlalu paranoid dan antipati pada pocong?

Sebelum pocong yang ini, sudah ada tokoh hantu yang disuguhkan untuk anak-anak, yaitu Casper. Tentu dia dalam bentuk tradisional sesuai pemahaman kultural masyarakat Amerika. Dan nyatanya, selama puluhan tahun Casper muncul, kanak-kanak di sana ya baik-baik saja, tidak lantas girapen massal sehingga negara AS batal jadi negara maju.

Selain Pocong Nonton Tivi, di buku ini juga terdapat cerita-cerita keren Langgar dan Layar Datar karya Doni Riadi, Max-TV (Ina Chan), Makser (Ajang ZA), Mumpung Tak Ada Ibu (Latree Manohara), Balada Rambo dan Meggie (Wesiati Setyaningsih), Pendamping Putri Raja (Sigit Wiratmo), Tongky Dimakan Televisi (Catastrova Prima), Ronaldo Vs Messi (Sendang Mulyana), dan Butaijo ing Alas Gombel (Widyo Babahe Leksono).

No comments: