Monday, March 18, 2013

Dongeng Enteng Sreng/Dongeng Karya Sendiri



Dulu, pas masih di Suara Merdeka—baik waktu masih di tabloid Tren maupun sesudahnya sebagai penulis freelance—aku kerap menerima order bikin artikel mendadak dari Om Daktur Kantin Banget. Kadang Sabtu sore gitu, pas deadline Edisi Minggu SM, aku sering nerima SMS berbunyi “Bikinin kuis!”, yang artinya adalah artikel kuis remaja dengan tema-tema tertentu. Semisal percaya diri, dengan tiga opsi jawaban A, B, dan C yang masing-masing menunjukkan kecenderungan ke arah sifat tertentu, biasanya “amat pede”, “gak pede”, dan “tengah-tengah”.

Lalu, normalnya penulis yang dikasih kerjaan pasti menanyakan deadline naskah. Dan jawabannya sering nggak masuk akal seperti “jam stgh 6” padahal SMS-nya jam 5 sore atau kapan itu pernah “10 menit lagi” dan aku terpaksa mengerjakannya di warnet berhubung pas di-SMS, aku pas lagi Friendster-an (zaman itu Facebook dan Twitter belum kondang).


Nah, pada zaman sekarang ini, yang kuterima sudah bukan lagi bikin artikel mendadak, tapi buku mendadak. Ceritanya, Minggu 27 Mei lalu aku janjian ketemu Mutiara Hikma di TBRS untuk membicarakan suatu urusan bisnis berskala multinasional. Lalu ketemu juga dengan Presdir Penerbit Gigih Pustaka Mandiri Budi Maryono, dan akhirnya malah diciduk untuk ikutan di acara peluncuran buku puisi Anak-anak Kapak di tempat yang sama.

Lalu aku dikasih tahu bahwa seniman beken Widyo “Babahe” Leksono sedang membuat buku cara mendongeng yang akan diluncurkan pas acara workshop mendongeng di Kudus tanggal 23 Juni. Agar bukunya makin tebel, aku disuruh melengkapinya dengan membikin satu segmen tentang cara menulis dongeng. Nantinya kedua naskah akan disatukan menjadi buku “2 in 1” dengan kaver bolak-balik mirip novel Bidik/Locomotion-nya Nugroho Nurarifin.

Jelas aku mau kalau soal: a) kenalan sama cewek cakep; atau b) disuruh bikin buku. Masalahnya adalah, dengan segala hitungan khas kaum penerbit, bahwa bukunya sudah akan ada pas workshop tanggal 23 Juni, maka naskahnya sudah harus jadi jauh-jauh-jauh hari sebelum itu. Berdasarkan penerawangan mistis Mas Nora, maka ia menginstruksikan naskahku dengan ketebalan (di buku nantinya) sekitar 50-an haalaman sudah harus diterima selambatnya Jumat tanggal 1 Juni. Berarti empat hari. Kupikir, lumayanlah. Masih lebih “enteng” dari Sarang Hae Yo Suju yang hanya dua hari.

Maka aku pun mulai bergerak ngebut ngetik. Ini satu-satunya acara ngebut yang sama sekali tidak dilarang dan tidak berbahaya. Sumbernya sama dengan waktu bikin buku Suju-SNSD, yaitu Wikipedia, terutama untuk mencari info tentang batasan dan segala pernak-pernik tentang dongeng (fairy tales) plus tokoh-tokoh penulisnya, kayak HC Andersen, Grimm Bersaudara, dan lain-lain. Sisanya, yang berupa teknik penulisan, aku karang-karang sendiri semauku seperti kalau pas siaran LKW di IBC FM.

Sambil mainan The Sims 2 dengan keseriusan yang sama, naskah memang selesai kutulis hari Jumat, tapi malem banget. Karena belum ada modem, otomatis naskahnya baru bisa kuemail keesokan harinya tanggal 2. Telat sehari, tapi untung saja bisa selesai. Kalau menulis novel, nggak akan mungkin bisa rampung 50 halaman dalam tiga hari!

Yang unik adalah sampulnya. Selain nggak pake back cover, juga yang muncul di gambar sampul adalah wajah-wajah para pengarangnya. Aku sama sekali tak tahu soal ini, dan baru lihat pas dummy cetakannya dikeluarkan di acara launching Pocong Nonton Tivi hari Minggu 10 Juni di Terracotta. Aku ngakak melihat kemiripannya. Yang mbikin siapa lagi kalau bukan kartunis kondang Djoko Susilo?

(Dan salah satu efeknya, Djoko kemudian menggambar juga wajah Ama Ristiana!)

Secara umum, tak banyak teknik baru yang kupaparkan di buku ini, yang kemudian dikasih judul Ndongeng Enteng Sreng/Dongeng Karya Sendiri. Dongeng kan hanya variasi tema. Cara nulisnya sama saja dengan nulis cerpen (rencananya, yang teknik nulis dongeng dalam bentuk novel akan jadi buku tersendiri—kalau sempat!). Yang aku tekankan adalah menulis dongeng baru yang original karya sendiri—mirip dongeng-dongeng era baru di buku Pocong Nonton Tivi—dan bukan hanya sekadar menceritakan ulang dongeng-dongeng “generik” yang selama ini sudah kita kenal.

Buku ini ditulis untuk para guru (dari PAUD sampai SMA), tapi layak juga dibaca semua orang, apalagi para ortu. Kan yang namanya dongeng saat ini sudah jarang kelihatan. Kemajuan teknologi membuat kita semua asyik-masyuk dengan gadget, dan lupa pada orang. Zaman sekarang mana ada lagi duduk-duduk bercengkerama di pekarangan menikmati sinar bulan purnama, lalu ortu mendongeng kisah-kisah ajaib pada anak-anak?

Bulan purnama saja kita sudah tak lagi hirau. Padahal asik lho, dalam kegelapan (di desa, tentu saja), lalu nongkrong di bawah “terang benderang” cahaya bulan purnama. Tak heran orang dulu sampai menciptakan lagu keroncong Di Bawah Sinar Bulan Purnama. Sekarang ini, desa terpencil saja terang benderang oleh lampu listrik. Baru bisa tahu bulan purnama kalau pas sedang kesasar di tempat yang jauh dari permukiman! Lagian kenapa juga ini malah ngomongin bulan purnama? Emang werewolf!?

No comments: